Headlines News :
Home » » Ganti Kurikulum Ternyata Sama Saja

Ganti Kurikulum Ternyata Sama Saja

Ditulis oleh Unknown pada Kamis, 13 Juni 2013 | 00.02

Oleh : Abdul Hamid Muammar, S.Pd*

Para murid kita masih sangat tergantung pada guru. Tanpa perubahan perilaku guru dalam mengajar, perubahan kurikulum hanya perubahan nama saja. Pergantian kurikulum adalah hal yang wajar terjadi karena kurikulum harus mengikuti perkembangan zaman.
 
Kurikulum pendidikan Indonesia sudah beberapa kali mengalami pergantian. Mulai dari kurikulum ’75, ’84, ’94, ’94 Suplemen, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), kurikulum 2006 kemudian kurikulum KTSP berbasis kompetensi dan di sempurnakan lagi dengan berbasis karakter, yang terakhir akan di berlakukannya kurikulum 2013. Belum ada ketentuan baku harus berapa tahun kurikulum diganti. Namun, pada prinsipnya pergantian kurikulum dilakukan untuk mengubah arah pendidikan agar sesuai dengan tuntutan zaman.

Efek perubahan kurikulum tentulah perubahan guru dalam mengajar. Perilaku guru pada kurikulum ’75 berbeda dengan perilaku guru pada kurikulum ’84, berbeda juga dengan kurikulum ’94 dan berbeda pula dengan ’06. Faktanya kurikulum bergonta-ganti perilaku guru tidak mengalami perbedaan. Seperti kata syair lagu Iwan Fals “Zaman berubah perilaku tidak berubah.” Dalam bahasa pendidikan, kurikulum berubah perilaku guru tak berubah.

Diklat dan pelatihan yang dilaksanakan untuk sosialisasi kurikulum baru tidak pernah menjangkau perubahan perilaku guru secara menyeluruh. Diklat dan pelatihan hanya berujung pada Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPL) dan sertifikat yang menandakan bahwa guru telah mendapat sosialisasi perubahan kurikulum tanpa ditandai dengan pemahaman apalagi perubahan perilaku.

Perubahan kurikulum bukannya mengubah wajah pendidikan menjadi lebih baik melainkan menjadi penyebab anomi guru-guru. Perubahan kurikulum sering ditandai dengan penerapan model mengajar, misalnya Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) adalah model belajar berciri khas yang pernah diperkenalkan.

Pada praktiknya bayak guru kehilangan fungsi tugasnya. Guru mengalami kesulitan untuk mengaktifkan murid dalam belajar. Murid tidak biasa belajar aktif. Mereka hanya bisa belajar jika ada guru. Itupun aktifitas belajarnya hanya melihat dan mendengarkan guru berceramah. Murid tidak pernah bertanya ataupun menjawab pertanyaan. Murid hanya bisa diam dan tersenyum. Budaya diam dan malu berbicara di muka umum adalah faktor mengapa mereka hanya melihat dan mendengar dalam belajar. Guru akhirnya mengalami kebingungan untuk mengaktifkan muridnya dalam belajar. Sementara tuntutan kurikulum, siswa harus aktif dalam belajar.

Dalam kondisi bingung, datanglah penerbit menawarkan Lembar Kerja Siswa (LKS). Dengan alasan bantu siswa untuk belajar aktif, LKS adalah alat bantu yang tepat untuk digunakan. Cukup dengan meneragkan sedikit, seterusnya murid akan belajar sendiri dengan bantuan LKS. Seperti diselamatkan dari kebingungan, guru cepat mengerti apa yang diajukan penerbit.

Untuk lebih menstimulus, guru menggunakan LKS, guru diberi rabat dari hasil penjualan LKS oleh penerbit. Kepada murid mereka bicara, “Demi kelancaran kita dalam belajar dan dapat membantu murid untuk belajar aktif, LKS ini wajib dimiliki oleh semua siswa.” Murid-murid tentu saja percaya apa yang dikatakan gurunya. Murid-murid menyerbu LKS dan guru senang karena rabat yang diterima memuaskan. Sejak saat itu, dengan alasan CSBA, guru menjadi ketergantungan pada LKS.

Dengan menggunakan LKS guru berhasil menerapkan metode belajar CBSA, bahkan kebablasan. dengan penggunaan LKS dan metode CBSA tugas guru menjadi lebih ringan. Guru hanya bertugas membagikan LKS dan murid aktif mengerjakan LKS dalam setiap pertemuan. Selesai belajar, LKS dikumpulkan. Minggu berikutnya guru memanggil ketua kelas dan menyuruh untuk melanjutkan pekerjaan LKS. Dalam satu semester LKS selesai dikerjakan oleh murid dan tak ada satu pokok bahasan pun yang diperiksa guru.

Ketika nilai akhir untuk pengisian rapor diminta, guru bersangkutan melirik guru sebelah untuk memastikan murid mana yang layak mendapat nilai baik dan murid yang layak mendapat nilai baik dan murid yang layak mendapat nilai rendah. Bahkan, ada guru yang berani mengambil nilai dengan menyerahkan kepada wali kelas atau copas nilai dari mata pelajaran lain dengan alasan hasilnya tidak akan jauh berbeda. Saking tidak pernah masuk kelas, ada guru yang tidak tahu mana anak yang sudah keluar atau pindah.

Setelah lama masa CBSA berlangsung, kini kurikulum berganti lagi dengan embel-embel berbasis kompetensi (KBK). Model belajar dalam kurikulum ini namanya lebih keren lagi. Dalam KBK, murid harus diajarkan melalui empat pilar pendidikan.
1. Learning how to learn.
2. Learning to do.
3. Learning to life together.
4. Learning to be.

Dalam pikiran guru, “Goodbye CBSA, kurikulum masa lalu.” Padahal kalau dipahami, CBSA adalah bagian dari learning to do. Namun di kalangan guru kalau ada yang membicarakan CBSA akan dianggap jadul dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Pemerintah begitu gencar melakukan sosialisasi kurikulum baru. Diklat dan seminar terus dilakukan untuk memberi pemahaman guru tentang KBK.

Setelah sedikit mengerti akhirnya mereka sadar dan melecehkan KBK, “Ini sama aja dengan CBSA.” Lalu semua guru mulai mencela KBK dengan alasan prinsipnya sama dengan CBSA. Praktiknya mereka kembali pada LKS. Murid mengerjakan LKS dari pertemuan pertama sampai akhir. Fiuh!

Belum lama KBK diterapkan, kurikulum berubah lagi dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alasan pemerintah menggunakan kurikulum baru adalah untuk menyesuaikan dengan zaman yang sudah memasuki era otonomi daerah. KTSP memang sesuai dengan semangat otonomi daerah yang ingin menggali potensi daerah. Right, KTSP adalah model kurikulum yang cocok pada era ini. Tapi model belajar tidak berubah, tetap seperti CBSA dan KBK. Hanya saja kali ini baik guru dan murid sama-sama aktif.

Seperti tanpa perubahan, pada kurikulum ini pun penggunaan LKS masih bertahan. Ketergantungan dengan rabat? Who knows. Daripada buku, guru lebih senang menggunakan LKS. Kalau menggunakan buku, guru masih direpotkan dengan membaca dan memahami. Namun dengan LKS, guru bisa meninggalkan siswa kapan saja dengan catatan siswa mengerjakan LKS. Dari jarak jauh sekalipun, guru tetap bisa mengontrol, cukup dengan mengirimkan SMS pada ketua kelas, “Saya tidak bisa hadir, kerjakan LKS bab berikutnya.” Ketua kelas membalas, “LKS nya dikumpulkan pak?” Guru mereply, “Kumpulkan diatas meja saya.” Selesai.

Tidak tau apakah murid mengerjakan LKS atau tidak, tau-tau minggu depan LKS sudah menumpuk lagi di meja kelas dan akan dibagikan kepada siswa untuk dikerjakan lagi. Begitu seterusnya.

Sebenarnya perubahan kurikulum belum bisa mengubah perilaku belajar, baik murid maupun guru. Dampak perubahan kurikulum yang sangat penting adalah perubahan cara mengajar guru dan belajar murid. Para murid masih masih sangat bergantung pada guru. Tanpa perubahan perilaku guru dalam mengajar, pergantian kurikulum hanya perubahan nama.

Dalam hal ini, pemerintah hendaknya memberikan kontrol yang berkesinambungan. Fungsi pengawasan sangatlah penting. Kegagalan sosialisasi dan penerapan kurikulum sangat berkaitan dengan fungsi pengawasan. Tanpa itu, guru akan kembali ke habitatnya.

*Staf pengajar di SMA Walisongo Pecangaan

Bagikan :

Posting Komentar

 
Copyright © 2013. Gema Smawas - All Rights Reserved
Didukung oleh Blogger